novel Catatan Hati Seorang Isteri

Catatan Hati Seorang Isteri

Suami adalah tipe lelaki serius, pendiam dan sangat dewasa. Lalu bagaimana ada kontak bernama “Spongebob” di listnya?

Ada sesuatu yang tiba-tiba berdetak di hati, namun saya lawan sebisanya. Pastilah ini hanya gurauan. Bisa jadi ketika saya buka, nomor tersebut merupakan nomor handphone adik perempuan, sepupu atau keponakan atau bisa jadi teman kantor. Saya bayangkan suami akan terpingkal-pingkal ketika saya ceritakan hal ini.

Saya ingat sempat termenung beberapa lama sebelum membuka kotak SMS. Bagi saya HP dan agenda adalah hal yang private dan saya sangat menghormati privacy suami.

Tapi entah ada apa hari itu, firasat seorang istrikah yang akhirnya membuat saya bereaksi berbeda?
Untuk pertama kalinya logika saya kalah. Saya akhirnya tergoda untuk menggerakkan jari memencet keyphone untuk membuka baris SMS yang masuk. Debaran di hati saya bertambah kencang ketika saya menemukan empat SMS dari si ‘Sponge bob’.

Saya membaca basmallah dan berdoa sebelum akhirnya memutuskan membaca SMS misterius tersebut. SMS
pertama dan kedua hanyalah kalimat resmi tentang janji temu.
Tetapi menginjak SMS ketiga, saya kaget menemukan kalimat-kalimat mesra di dalamnya. Tetapi bukankah siapa saja bisa berkata mesra?

Bukankah yang lebih penting adalah bagaimana sikap suami terhadap yang bersangkutan dan bukan sebaliknya?

Nalar saya bicara. Saya tutup kotak pesan masuk, dan mencoba menelusuri box sent item. Kepala saya mulai berdenyut. Jari-jari saya gemetar saat menemukan empat SMS dari suami sebagai balasan terhadap SMS si ‘Spongebob’

SMS pertama biasa saja. Tetapi SMS kedua?
Hari ini menemani anak-anak karate. Sayang sedang apa? Jangan terlambat makan, ya?

Saya periksa tanggal SMS tersebut dikirimkan. Ahad lalu, hari yang sama ketika suami menemani ketiga anak kami latihan karate. Sementara saya seharian di rumah menemani si bungsu yang sedang sakit.

Ketika membaca SMS-SMS balasan berikutnya, perasaan saya semakin diremas-remas. Kedua kaki saya seakan lumpuh dan tidak bertenaga. Sementara kepala sontak berdenyut-denyut. Ahh, bagaimana mungkin?

Suami saya lelaki yang taat beribadah. Al Ma’ tsuratnya tak pernah tertinggal setiap shalat subuh. Dia mungkin lelaki terakhir yang akan saya curigai untuk berselingkuh.

Mungkinkah semua ini hanya guyonan?
Tidak, dia tipe pemikir dan amat menjaga pergaulan dengan lawan jenis. Saya tidak bisa menemukan alasan suami memanggil perempuan lain dengan sebutan ‘sayang’!

Kemesraan di dalam SMS-SMS berikutnya yang dikirim suami, semakin mengukuhkan jalinan cinta keduanya.

Betapa pun saya berusaha berprasangka baik, sia-sia bagi saya menemukan sudut pandang yang mungkin bisa membantah kecemasan saya.

Sesorean itu saya perpanjang shalat ashar dan menenangkan diri dalam tilawah. Saya menangis. Lima belas tahun pernikahan, belum pernah sekalipun suami membuat saya menangis. Tapi hari itu saya benar-benar terisak.

Ketika suami pulang, saya mencoba menahan diri dan melayaninya seperti biasa. Tetapi tangis yang saya tahan akhirnya tumpah juga ketika kami sudah berada di tempat tidur dan siap beristirahat. Dengan lembut seperti biasa suami menanyakan apa yang membuat saya begitu sedih.

Saya tidak menjawab. Saya raih handphone, membuka sent item dan saya sodorkan SMS yang diketik suami untuk si ‘Spongebob’.

Sikap saya berubah dingin. Saya perhatikan raut wajah suami berubah, tidak lama kemudian dia te risak-isak dan merengkuh saya.

“Aa minta maaf. Aa khilaf…” Ada air mata yang kini juga jatuh di pipi suami. Dia pandangi saya, dia usap-usap wajah saya seraya rnengulangulang permintaan maafnya.

“Tapi belum jauh, dik. Tidak ada yang terjadi.”

Berawal di dunia maya, kedekatan mereka terjalin.

“Usianya tiga puluh tahun, belum menikah… dia tinggal di Bogor.”
Gadis itu sering curhat kepada suami soal apa saja.

“Sudah berapa lama, Aa?” Suami saya diam. Matanya tampak ragu.

“Saya ingin Aa jujur…Tidak apa.”

Lelaki itu terdiam, menghela napas. “Tiga tahun, dik.”

Saya tercenung mendengar pengakuannya.

Tiga tahun…begitu lama. Bagaimana mata saya bisa dibutakan selama itu? Di sisi saya, suami terisak.

Pembaca, setelah dialog malam itu, sulit bagi saya membangun kepercayaan kepada suami. Saya terus-menerus memikirkan angka 3 tahun itu, imajinasi saya berputar-putar. Tiga tahun waktu yang lama, apa saja yang sudah terjadi di antara mereka? Hancur hati saya membayangkannya.

Sementara ini saya mengungsi di rumah Ibu. Sudah enam bulan sejak pengkhianatan mereka saya ketahui (keduanya belum menikah). Saya hanya berharap waktu bisa memberi saya kejernihan hati, untuk melakukan hal yang benar.

(Berdasarkan kisah Mbak Safitri)
Saat Cinta Berpaling Darimu
“Dia tak mengira kalau kecantikan lugu itu akan memorak-morandakan rumah tangga mereka.”

Apakah dia merasa putus asa ketika mengetahui bahwa gaji suaminya yang masih kuliah itu hanya 200 ribu sebulan?

Apakah dia putus asa ketika mereka harus ber pindah-pindah kontrakan dari satu rumah mungil ke rumah mungil yang lain?

Apakah perempuan itu mengeluh, ketika berbu lan-bulan hanya makan tempe dan sayur, yang ma sing-masing dibeli seribu rupiah di warung, ketika sang suami tak bekerja cukup lama?
Jawabannya tidak.

Perempuan berwajah manis, yang saya kenal itu sebaliknya selalu terlihat cerah, seolah permasalahan ekonomi yang menerpa keluarga kecil mereka,tak berarti apa-apa.

Pun ketika kesulitan hidup terus berlanjut. Menjelang kelahiran anak pertama mereka, suami masih belum memiliki pekerjaan yang mapan. Tapi perempuan itu tidak putus asa. Sedikitpun tidak menyesal telah menikah dengan lelaki pilihannya. Lelaki yang dia cintai karena kecerdasan dan kegigihannya. Lelaki yang amat dia hormati, yang dia tahu selalu berupaya sungguh-sungguh untuk membahagiakan, keluarga mereka.

Dan kenyataan bahwa mereka tinggal di rumah kontrakan yang nyaris mau runtuh, dengan kamar mandi jelek, dan serangga di mana-mana yang kerap menimbulkan ruam merah pada kulitnya yang putih, tidak membuatnya mengeluh. Tidak juga ketika satu-satu perhiasan dari orang tuanya, ludes terjual untuk keperluan rumah tangga.
Lalu anak pertama lahir. Gagah, dengan alis tebal nyaris bertaut. Dia dan suami menerima kehadiran pangeran kecil itu dengan hati berbunga. Meski mereka harus berhutang ke sana ke mari agar biaya kelahiran bisa dilunasi. Sekali lagi, perempuan itu tidak pernah mengeluh.

Hidup baginya adalah rentetan ucapan syukur kepada yang kuasa, dari waktu ke waktu.
Ketika anak kedua mereka lahir, roda ekonomi keluarga telah jauh lebih baik. Laki-laki yang dicintainya mendapatkan pekerjaan yang mapan. Mereka tak lagi bingung memikirkan kebutuhan sehari-hari, makan, maupun susu buat anak-anak.
Perempuan yang saya kenal sejak lama itu, membantu suaminya dengan bekerja paruh waktu bagi sebuah taman bermain anak-anak yang cukup prestise. Seiring kehidupan yang mulai membaik, perempuan itu tak lagi mengerjakan semua sendiri. Apalagi setelah anak ketiga mereka lahir.

Sang suami memintanya lebih konsen kepada pekerjaan paruh waktu yang digeluti istrinya. Tahun ke lima pernikahan mereka mulai menyewa baby sitter, ketika itu si bungsu belum lagi berusia sepuluh bulan.